Suatu
sore, selepas kursus bahasa jerman yang melelahkan, pihak DAAD (dinas
pertukaran akademis jerman), mengumpulkan kami, para penerima beasiswa,
ke dalam kelas untuk berbagai macam pengumuman. Macam-macam yang
dibahas, mulai dari masalah visa, kumpul keluarga, dan akhirnya, ke
masalah apa gunanya mampu berbahasa jerman.
‘Saudara-saudara harus
lulus ujian bahasa jerman dasar, baru bisa menginjakkan kaki ke jerman’.
Demikian pengumuman dari pihak DAAD , sewaktu mengisi saresehan di
Goethe Institut, di selang-selang kami kursus bahasa jerman. Pada
awalnya, kami bingung bukan kepalang, mengapa menguasai bahasa jerman
itu sebuah keharusan? Bukankah bahasa Inggris saja sudah cukup, karena
bahasa internasional? Bukankah orang jerman juga belajar bahasa inggris
di sekolah? Akhirnya belakangan kita seangkatan mengetahui, bahwa memang
orang jerman bisa bahasa inggris, tapi persoalan apakah mereka mau
menggunakan bahasa itu atau tidak, adalah hal yang berbeda.
Nasionalisme Jerman vis a vis Nasionalisme Indonesia
Sewaktu menginjakkan kaki ke jerman, semakin jelas, bahwa bangsa ini
sangat menjaga jarak dengan sesuatu yang berbau inggris. Film di Bioskop
didubing total dalam bahasa jerman, dan mayoritas film dari US atau UK
yang ditayangkan di tv didubing total juga. Di toko buku, seksi buku
bahasa inggris ditempatkan di tempat yang terpencil, yang mesti
dicari-cari ke pelosok toko. Orang jerman memang senang mendengar
lagu/musik Inggris, tapi persoalan apakah mereka mau menggunakan bahasa
itu untuk berkomunikasi dengan orang lain, adalah hal yang berbeda.
Untung memang, kalau orang jerman yg di universitas, semuanya bisa dan
mau berbahasa inggris. Namun diluar ‘tembok’ universitas, itu sudah
dunia lain yang jauh berbeda.
Banyak hal yang menunjukkan, bahwa
mampu berbahasa jerman di negri gothic ini, akan mempermudah semua
urusan. Saya pernah punya pengalaman ganjil, sewaktu mengurus pembukaan
rekening di bank, ternyata tellernya tidak bisa bahasa inggris. Saat
itu, bahasa jerman sy masih pas-pasan. Untung, ada teller lain yg bisa
berbahasa inggris, jadi urusan pun jadi lancar. Sewaktu mencari alamat,
atau lokasi yang belum kita ketahui, bahasa jerman satu-satunya yang
bisa dijadikan andalan. Termasuk dalam menjalin relasi dengan orang
jerman, jika mereka tau kita berberbahasa jerman, mereka akan senang.
Walaupun pas-pasan, tapi tidak masalah. Mereka tidak meminta kita untuk
sempurna dalam menguasai bahasa mereka.
Apakah yang bisa kita
pelajari, dari kasus mewajibkan bahasa jerman bagi para pendatang ini?
Sebenarnya sesuatu yang bisa diaplikasikan ke kita juga. Saya bukan
meminta semua orang untuk belajar bahasa jerman, dan datang ke jerman.
Bukan demikian. Namun dari bangsa jerman, saya belajar sesuatu yang
berharga, bahwa BAHASA menunjukkan NASIONALISME. Iya, bahasa menunjukkan
jati diri bangsa tersebut. Orang jerman selalu merasa, jika mereka
selalu menggunakan bahasa asing, maka jati diri mereka akan terampas.
Mereka menerima bahwa bahasa inggris adalah bahasa ilmu pengetahuan,
namun untuk pergaulan/sosialisasi dan ekspresi budaya, mereka tetap
setia pada bahasa ibu mereka. Dari sini saya belajar, seharusnya
bagaimana Indonesia menerapkan nasionalismenya.
Nasib Bahasa Indonesia Sekarang ini
Berbeda dengan jerman, trend Indonesia justru menunjukkan kebalikannya.
Berkebalikan dengan Jerman yang mati-matian menjaga kemurnian bahasa,
dan bahkan menyebarkan bahasa tersebut ke org non jerman, justru posisi
bahasa Indonesia semakin lama semakin terdesak oleh bahasa Inggris.
Terjadi fenomena bahasa campuran, dimana bahasa inggris dan indonesia
dicampur aduk tidak karuan. Dan terjadilah bahasa kreol, atau bahasa
campuran. Hal ini kelihatan sangat nyata pada sinetron kita. Jelas-jelas
ada pihak yang mempromosikan penggunaan bahasa campuran model demikian,
dan menjadikan sinteron atau media tv untuk mempromosikan bahasa kreol
tersebut. Akibatnya, berbeda dengan posisi bahasa jerman, yang tetap
tegar bertahan ditengah serbuan bahasa inggris, bahasa Indo semakin lama
semakin luntur oleh penuturnya. Tv, dan sintron kita menjadi media
utama dekadensi tersebut, karena mereka mempromosikan bahasa kreol, yang
mencampur adukkan bahasa inggris dan indonesia. Hal yang sangat
meprihatinkan, dan membuat saya mengurut dada berkali-kali.
Hal ini
sangat memprihatinkan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Banyak yang bilang,
ini terjadi karena tekanan pasar. Alasan yang tidak masuk akal, sebab
di industri tv dan sinema Jerman sekalipun, walau ada tekanan pasar
seperti apa juga, tetap bahasa jerman jadi panglima dan bahasa inggris
itu sekunder. Apalagi bahasa kreol/campuran, itu tidak ada tempatnya di
industri tv jerman. Alasan semua itu terjadi, karena memang pasar Indo
menghendaki kehadiran bahasa campuran, adalah terlalu dicari-cari.
Hanya kita yang bisa menjaga Bahasa Indonesia
Saya
pikir, memang diperlukan suatu pengembangan yang terintegrasi terhadap
bahasa indonesia. Kita tidak perlu menyalahkan pihak lain dalam hal ini,
namun sebaiknya duduk bersama untuk memikirkan hal ini. Saya setuju
dengan usul beberapa rekan, bahwa kita memerlukan suatu standar seperti
TOEFL atau Zertifikat Goethe, untuk menentukan kompetensi bahasa
Indonesia. Kalo kita sekolah atau kerja di jerman, harus mendapatkan
sertifikat dari goethe, maka kalo orang bule/orang asing mau sekolah
atau kerja harus memiliki kompetenesi setara seperti itu. Sebenarnya,
membuat standarnya tidak akan sukar, sebab kita memang memiliki pakar
sastra indonesia. Tinggal duduk bersama dan merembukkannya saja.
Namun masalah yang paling penting, sebenarnya balik lagi ke pendidikan.
Nasionalisme merupakan sesuatu yang penting untuk ditanamkan ke generasi
penerus kita. Adapun, nasionalisme harus diajarkan jangan dengan penuh
dogma, sebab para muda-mudi tidak akan suka dengan dogma. Perlu suatu
formulasi pendidikan nasionalisme, namun yang tidak dogmatis. Mungkin
bentuknya akan berbeda dengan P4 di masa lalu, misalnya, Namun memiliki
semangat yang sama.
Satu hal yang saya sadari selama berada di
jerman, bahwa nasionalisme saya semakin lama semakin tebal di negri para
gothic ini. Berada di negeri, dimana kita menjadi orang asing, dan
dianggap ‘aneh’ oleh penduduk asli, justru menjadikan saya semakin lama
semakin cinta dengan Indonesia. Bersyukur juga, saya bisa berteman
dengan orang jerman, yang justru sangat bersimpati dengan Indonesia. Di
mata mereka Indonesia adalah negeri yang kaya, indah, penuh
keanekaragaman flora-fauna dan penuh ragam budaya. Justru, menyadari
bahwa ada orang jerman yang mati-matian belajar bahasa Indonesia, demi
proyek magister mereka, dan sering berkata hal yang positif mengenai
Indonesia, menjadikan saya semakin cinta Indonesia. Teman jerman saya,
selalu mengatakan bahwa bahasa indo adalah bahasa yang paling mudah,
tidak seperti jerman atau inggris yang penuh aturan tata bahasa. Tragis,
ditengah banyak orang bule yang belajar serius bahasa indonesia, dan
mengapresiasi budaya kita, ada sebagian orang indonesia, yang justru
melecehkan dan menginjak-injak bahasa kita, dengan menciptakan bahasa
kreol lewat media tv. Sadarkah, wahai bangsa Indonesia, bahwa budaya dan
bahasa kita itu sangat dipuja-puja oleh orang asing? Sudah saat kita
mulai mengapresiasi bahasa dan budaya kita sendiri!. Indonesia, jauh
dimata, namun tetap dekat di hati.