ARTIKEL - BAHASA DAN BUDAYA ASPEK SINKRONISASI
Indonesia dikenal sebagai bangsa
yang memiliki banyak bahasa daerah yang tersebar di pelosok tanah air.
Bahkan menjadi salah satu bangsa yang memiliki jumlah bahasa ibu
terbesar di seluruh dunia. Jumlah bahasa pribumi itu mencapai 360
bahasa. Tentu prestasi itu tidak serta merta menjadi penyebab banyaknya
warga negara asing yang mengacungkan jempol bagi bangsa kita. Belum
lagi familiarnya dengan kesantunan berbahasa ala Sunda.
Bahkan semua orang di
negeri ini pernah mendengar pemimpin bangsa berpidato dengan bahasanya
yang khas. Sebut saja Soekarno atau presiden baru kita, Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Beliau pernah menerima penghargaan sebagai pejabat
yang menggunakan bahasa paling santun se-Indonesia pada tahun 2003. SBY
patut menjadi teladan bagi para pejabat di negeri ini yang senang
berkoar-koar di hadapan publik. Belum lagi gelar yang disandang sebagai
wakil rakyat yang memang mengharuskan mereka berbahasa yang baik dan
yang lebih penting bukan sekadar retorika tanpa makna.
Bahasa yang santun... di
manapun kita berada menjadi salah satu modal yang sangat penting dalam
menjalin komunikasi dengan orang lain. Komunikasi dengan orang di
sekitar kita, entah pribumi ataupun warga negara asing. Kesantunan
berbahasa menjadi mutlak kita perlukan. Kalau kesantunan berbahasa yang
setidaknya dimiliki oleh semua orang pada semua kelas atau level, maka
menjadi tugas bersama untuk menjadikannya sebagai ciri khas bangsa
yang benar-benar terealisasi. Sehingga, para tourist yang datang di
Indonesia tidak hanya merasa bahwa kesantunan berbahasa yang kita
gunakan bukan hanya sekadar terori yang dibuat-buat atau sekadar
rekayasa berbudaya.
Budaya dan Berbahasa
Budaya kita populer dengan keragaman dari aspek kesenian. Sedangkan
bahasa kita populer dengan keragaman dari aspek kedaerahan. Kalau
keragaman berbahasa yang pada intinya harus sinkron dengan cara kita
berbudaya, maka akan menjadi sesuatu yang sulit tercapai. Mengapa? Apa
jadinya kalau masyarakat Bugis-Makassar yang kental dengan kasarnya
budaya berbahasa, harus menyesuaikan diri dengan gaya berbahasa
masyarakat sunda yang lebih halus, lebih lembut. Maka, solusinya adalah
mengembalikannya sesuai kesantunan kita berbahasa yang sesuai
nilai-nilai atau norma konvensional dalam masyarakat kita. Mengapa harus
susah-susah melipat lidah kalau budaya berbahasa kita kasar atau lebih
lembut. Bukankan kesantunan dalam berbahasa dan berbudaya itu terletak
pada dan bagaimana kita mensinkronisasikan keduanya sehingga dapat
diterima dengan baik dan bijak oleh masyarakat luas.
JAYALAH BANGSAKU!!
Kita ini bangsa yang memiliki budaya sendiri. Ditambah nilai plus dari keragaman bahasa yang khas. Tunjukkan bahwa kita bukan milik orang lain atau pun sekadar klaim yang tidak berdasar.
sumber http://chipachupz.blogspot.com/2010/10/bahasa-dan-budaya-aspek-sinkronisasi.html
0 التعليقات:
إرسال تعليق
silahkan kasih pesan atau komentar untuk blog ini.....